بسم الله الرحمن الرحيم


Rabu, 18 Januari 2012

Anasyid dan Sama


Dalam dunia tasawuf, lagu-lagu pujian (anasyid) dan tarian sakral (sama') adalah biasa. Seni di dalam kehidupan sufi seolah merupakan bagian yang tak terpisahkan. Hampir semua sufi mencintai, bahkan menjadi praktisi seni. Sebutlah nama Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang seniman atau seniman yang sufi. Ia bukan hanya mencintai seni, melainkan juga menjadi praktisi seni. Ia menguasai berbagai jenis alat musik, mulai dari alat tiup seperti seruling sampai berbagai jenis gendang.


Bagi para pengikut tarekat 'Maulawiyah, tarekat yang menyandarkan diri pada ajaran Jalaluddin Rumi, sangat akrab dengan anasyid dan sama' (shema'). Shema ialah zikir yang diiringi alunan musik dan tari memutar yang biasa juga dikenal dengan tari sufi (whirling darwishes). Shema sudah lama menjadi ciri khas Kota Konya, kota di mana Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) dimakamkan dan di atas makamnya tertulis: al-Imam al-Auliya' (imam para wali). Shema bukan sekadar musik dan tari, bukan pula sekadar hiburan dan tontonan, melainkan lebih merupakan upacara ritual.
Shema' merupakan ungkapan rasa cinta yang amat mendalam di dalam hati kepada Sang Kekasih sehingga sang pencinta dan Yang Dicintai seolah-olah menyatu, larut, dan hanyut seiring dengan alunan musik yang diiringi tarian. Alat-alat musik yang dominan adalah seruling bambu. Sebuah seruling baru dapat menghasilkan bunyi yang merdu jika di dalamnya terbebas dari sumbatan. Sama dengan kalbu, tidak akan melahirkan kesucian jika di dalamnya terdapat kotoran dan hanya dengan kalbu yang bening yang dapat berjumpa (liqa') dengan Tuhan. Bunyi gendang atau tambur diilustrasikan sebagai perintah suci (divine order). "Kun=jadilah", maka ciptaan suci menyerupai sang Mahasuci terjadi. Syair-syair dalam lagu diawali dengan pujian terhadap Rasulullah (Nat-i Serif) sebagai lambang cinta sejati, sebagaimana pula nabi-nabi sebelumnya. Memuji mereka berarti memuji Tuhan yang menciptakan mereka. Keseluruhan paduan indah irama musik, lagu, dan gerakan lembut yang berputar merupakan persembahan suci (ta'dhim) yang kemudian menghasilkan napas suci (The Divine Breath) dalam kehidupan ini.

Kombinasi pakaian yang terbentuk dari bahan putih kemilau semula dibungkus dengan bahan berwarna hitam-gelap. Setelah satu per satu melakukan sungkeman (tawajjuh) kepada seorang syekh yang didampingi seorang mursyid, para penari yang umumnya berjumlah 25 orang duduk membanjar di sebelah kiri syekh. Sambil musik mengalun, perlahan-lahan mereka melepaskan jubah hitam, sebagai simbol pelepasan segala dosa dan maksiat dan yang tertinggal adalah warna putih.

Setelah itu, satu per satu berdiri berbaris lembut menghampiri syekh. Selepas melakukan penghormatan kedua kali terhadap syekh, satu per satu mereka mulai berputar seperti gasing. Tangan kanan lurus ke samping dengan telapak tangan menengadah ke atas sebagai simbol hamba ('abid) yang memohon kedekatan diri kepada Sang Khalik, sementara tangan kiri lurus ke samping menengadah ke bawah sebagai simbol khalifah, yang menyalurkan kasih kepada para makhluk lainnya. Kaki kiri seolah menancap (istiqamah) sambil berputar di tempat dan kaki kanan yang sering terangkat sambil berputar. Pakaian yang mirip rok panjang melebar bagai kipas yang terhampar. Semuanya ini memiliki makna yang akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Pembacaan wirid, mudzakarah, pembacaan rawi Maulid Nabi (amdah, maulidat), dan beberapa syair yang diambil dari quatrain sufi penyair Arab dan Persia, biasanya dilantunkan dengan lagu-lagu yang dinyanyikan berjamaah. Di Indonesia, pembacaan berbagai macam selawat Nabi, seperti selawat Badar, dilantunkan bagaikan himne yang diperuntukkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang para jamaah meneteskan air mata ketika melantunkan selawat Nabi tersebut.

Tarekat Syaziliyah yang berkembang di Maroko sampai Irak sangat kental dengan nyanyian/nasyid yang diambil dari Burdah (mantel)¸ karya penyair sufi Mesir, al-Bushiri (wafat 694H/1296M). Konon syair ini diilhami oleh mimpi. Sedangkan, tarekat Syaziliyah yang berkembang di Syiria menyenandungkan himne-himne yang diambil dari kumpulan syair (diwan) karya penyair sufistik, Abdul Gani al-Nabulusi dari Naplus, Palestina, yang hidup sekitar 1641-1731 M. Pembacaan kidung spiritual biasanya dilakukan di dalam sebuah tempat khusus yang disebut dengan Zawiyah.
arekat Qadiriyah-Naqsyabandi, sebagaimana yang berkembang di Tanah Air, juga sangat akrab dengan sejumlah zikir dan syair berbahasa Arab, yang mengandung nilai sastra tinggi, seperti syair-syair Barzanji, juga dapat dilantunkan dengan ritme tertentu yang bisa "memabukkan" jamaah jika dilantunkan oleh pelantun spesialis. Tidak sedikit orang menjadi pingsan karena terharu dengan lantunan lagu yang memicu kerinduan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Anasyid dan Sama' sebagai sebuah zikir yang dilakukan dengan nyanyian, gerak, dan tari, biasanya diiringi oleh alat-alat dan ensembel musik yang lengkap. Musik itu sendiri bagi tarekat Maulawiyah dianggap zikir karena instrumen dan ritmenya bisa menggetarkan batin, menambah rasa cinta teramat mendalam kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Tarekat Qadiriyah dan tarekat Syaziliyah lebih sering berbicara tentang hadhrah al-dzikr, yang secara harfiah berarti "kehadiran pengingatan". Nama-nama indah Allah (al-Asma' al-Husna') sering kali menjadi dasar ritme hadhrah, bagaikan ucapan "sakramen" yang bisa menjadi sarana manusia meninggalkan watak kasarnya menuju ke personalitas yang suci dan agung. Di Maroko yang terkenal sebagai kota tarekat Syaziliyyah dengan cabang-cabangnya, seperti Isawiyyah, Zarruqiyyah, Nashiriyyah, dan Darqawiyyah, memiliki bentuk tarian sufi khusus yang biasa disebut dengan umarah (kelimpahan). Ini sebagai manifestasi esensi Allah yang biasa disebutkan kata gantinya, Huwa (Dia). Jika masuk merasuk ke dalam diri manusia, Ia akan memenuhinya hingga melimpah.

www.sufiroad.blogspot.com
oleh : Prof Dr Nasaruddin Umar

Sabtu, 14 Januari 2012

Biografi Ar-Razi

Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Persia :أبوبكر الرازي) atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 - 930. Ia lahir di Rayy, Teheran pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925.

Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad.

Ar-Razi juga diketahui sebagai ilmuwan serbabisa dan dianggap sebagai salah satu ilmuwan terbesar dalam Islam. Ar-Razi lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 9 Oktober 925 Hijriah. Nama Razi-nya berasal dari nama kota Rayy. Kota tersebut terletak di lembah selatan jajaran Dataran Tinggi Alborz yang berada di dekat Teheran, Iran. Di kota ini juga, Ibnu Sina menyelesaikan hampir seluruh karyanya.

Saat masih kecil, ar-Razi tertarik untuk menjadi penyanyi atau musisi tapi dia kemudian lebih tertarik pada bidang alkemi. Pada umurnya yang ke-30, ar-Razi memutuskan untuk berhenti menekuni bidang alkemi dikarenakan berbagai eksperimen yang menyebabkan matanya menjadi cacat. Kemudian dia mencari dokter yang bisa menyembuhkan matanya, dan dari sinilah ar-Razi mulai mempelajari ilmu kedokteran.

Dia belajar ilmu kedokteran dari Ali ibnu Sahal at-Tabari, seorang dokter dan filsuf yang lahir di Merv. Dahulu, gurunya merupakan seorangYahudi yang kemudian berpindah agama menjadi Islam setelah mengambil sumpah untuk menjadi pegawai kerajaan dibawah kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mu’tashim.
Razi kembali ke kampung halamannya dan terkenal sebagai seorang dokter disana. Kemudian dia menjadi kepala Rumah Sakit di Rayy pada masa kekuasaan Mansur ibnu Ishaq, penguasa Samania. Ar-Razi juga menulis at-Tibb al-Mansur yang khusus dipersembahkan untuk Mansur ibnu Ishaq. Beberapa tahun kemudian, ar-Razi pindah ke Baghdad pada masa kekuasaan al-Muktafi dan menjadi kepala sebuah rumah sakit di Baghdad.

Setelah kematian Khalifan al-Muktafi pada tahun 907 Masehi, ar-Razi memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya di Rayy, dimana dia mengumpulkan murid-muridnya. Dalam buku Ibnu Nadim yang berjudul Fihrist, ar-Razi diberikan gelar Syaikh karena dia memiliki banyak murid. Selain itu, ar-Razi dikenal sebagai dokter yang baik dan tidak membebani biaya pada pasiennya saat berobat kepadanya.

Sumber : Wikipedia